Minggu, 29 Mei 2011

Pembelajaran Inovatif

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah di Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dirasakan secara nasional adalah perubahan kurikulum. Sejak tahun 1980 hingga tahun 2006, Indonesia setidaknya lima kali telah mengalami perubahan kurikulum. Namun, patut diakui bahwa hasil-hasil pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Lulusan sekolah di Indonesia masih sangat rendah tingkat kompetisi dan relevansinya.
Rendahnya tingkat kompetisi dan relevansi lulusan tersebut dapat digunakan alternatif refleksi bahwa tingkat kompetisi dan relevansi pembelajaran juga patut dipikirkan. Kompetensi peserta didik sebagai produk pembelajaran sangat menentukan tingkat kehidupannya kelak setelah mereka menjalani hidup di dunia nyata. Artinya, kompetensi itu sangat penting bagi setiap orang dalam menghadapi perkembangan teknologi yang begitu pesat. Lebih-lebih dalam menghadapi era informasi, AFTA, dan perdagangan bebas di abad pengetahuan yang banyak ditandai oleh pergeseran peran manufaktur ke sektor jasa berbasis pengetahuan, kompetensi itu merupakan salah satu faktor yang sangat menetukan kehidupan manusia. Artinya, ketika kehidupan telah berubah menjadi semakin maju dan kompleks, masalah kehidupan yang banyak diwarnai oleh fenomena dunia nyata diupayakan dapat dijelaskan secara keilmuan. Berdasarkan pemilikan kompetensi keilmuan tersebut, maka peserta didik diharapkan mampu memecahkan dan mengatasi permasalahan kehidupan yang dihadapi dengan cara lebih baik, lebih cepat, adaptif, lentur, dan versatile.
Perubahan-perubahan tersebut sangat strategis untuk diinternalisasi dan dipahami oleh para guru di sekolah. Secara lebih spesifik, perubahan yang patut dipahami adalah yang menyangkut pembelajaran. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang berlandaskan paradigma konstruktivitik yang senantiasa mengakomodasi pengetahuan awal sebagai starting point.
Seperti kita ketahui, berdasarkan Kurikulum Sains, sains merupakan cara mencari tahu tentang alam sekitar secara sistematis untuk mengusai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah. Pendidikan sains bermanfaat bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. Pendidikan sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung dan kegiatan praktis untuk mengembangkan kompetensi agar siswa memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Idealnya, pembelajaran sains digunakan sebagai wahana bagi siswa untuk
menjadi ilmuwan. Melalui pembelajaran sains di sekolah siswa dilatih berpikir, membuat konsep ataupun dalil melalui pengamatan, dan percobaan. Namun hal tersebut berbeda dengan realita di lapangan masih terkendala untuk mewujudkan idealita tersebut.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) saat ini berakibat pada perubahan-perubahan di berbagai bidang kehidupan. E. Mulyasa (2008:9) mengemukakan bahwa pendidikan harus dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan permasalahan-permasalahan perkembangan iptek. Kesuksesan pendidikan anak Indonesia merupakan ujung tombak kemajuan bangsa Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara lain.
Realita proses pembelajaran di kelas tradisional, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas didominasi oleh kegiatan belajar yang hanya mengarahkan siswa untuk menghafal informasi saja, otak siswa dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi. Siswa tidak dituntut untuk memahami dan menghubungkan informasi yang diingatnya itu dengan kehidupan sehari-hari siswa. Pembelajaran dengan menerapkan pendekatan tersebut kurang mendorong siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir. Sebagaimana yang diungkapkan Mary bahwa Thinking outside the box is sometimes difficult when students and teachers are working within the constraints of a traditional classroom. Students especially have their outlooks limited by classroom walls because they often do not yet have a wide perspective on the potential for their actions to have civic consequences.
Saat ini pembelajaran yang dilakukan masih belum bermakna. Hal ini se-bagaimana diungkapkan Abdurrahman bahwa selama mengikuti pembelajaran di sekolah siswa jarang bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian. Hal tersebut mengakibatkan pembelajaran kurang bermakna dan juga mengakibatkan siswa kurang termotivasi untuk mempelajari sains yang ditunjukkan dengan sikap bosan mengikuti proses pembelajaran sehingga sains kurang berkesan dalam benak mereka. Oleh karena itu, perlu suatu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa dan dapat memberikan makna bagi siswa untuk dapat menjadi manusia seutuhnya.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pembelajaran Inovatif
Inovasi pendidikan (education innovation) adalah pembaharuan pendidikan secara parsial berskala sekolah atau kelas, dengan objek pembaharuan mengenai salah satu komponen pendidikan (Sukardjo & Das Salirawati, 2008). Santyasa (2005:5) menambahkan bahwa pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih bersifat student centered, artinya pembelajaran yang lebih memberikan peluang kepada siswa untuk mengkontruksi pengetahuan secara mandiri (self directed) dan dimediasi oleh teman sebaya. Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inovatif adalah pembaharuan pendidikan yang mengaktifkan siswa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menciptakan pembelajaran student centered.
Menurut Marsaja keunggulan pembelajaran inovatif adalah:
(1) Kualitas hasil belajar yang dicapai menjadi lebih tinggi;
(2) Lingkup hasil belajar menjadi lebih komprehensif;
(3) Pembelajaran inovatif tidak saja menekankan pada hasil belajar kognitif, tetapi juga hasil belajar proses dan sikap.
Konsekuensinya tentu akan memerlukan waktu yang lebih lama karena dilakukan untuk mencapai banyak hasil belajar. Pembelajaran inovatif dengan metode yang berpusat pada siswa (student centered learning) juga memiliki keragaman model pembelajaran yang menuntut partisipasi aktif dari siswa.
Metode-metode tersebut diantaranya sebagai berikut:
 Berbagi informasi (information sharing) dengan cara: curah gagasan
(brainstorming), kooperatif, kolaboratif, diskusi kelompok (group discussion),
diskusi panel (panel discussion), simposium, dan seminar
 Pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem solving based learning) dengan cara: studi kasus, tutorial, dan lokakarya.
 Belajar dari pengalaman (experience based) dengan cara: simulasi, bermain peran (roleplay), permainan (game), dan kelompok temu. Salah satu metode alternatif yang saat ini sedang digemari dan diyakini lebih berhasil dari kegiatan ceramah adalah pendidikan luar ruang (outbound education), yang sarat dengan permainan yang menantang, mengandung nilai-nilai pendidikan, dan mendekatkan siswa dengan alam.
Pendidikan adalah proses interaksi antara siswa dengan dirinya sendiri
(konsentris), siswa dan alam sekitar (horisontal) dan interaksi siswa dengan Allah SWT (vertikal), tetapi banyak metode pengajaran kita yang memisah-misahkan ketiga interaksi tersebut. Oleh karena itu guru hendaknya menyadari pentingnya pembelajaran yang bermakna dengan menciptakan keseimbangan antara guru, siswa, dan lingkungan. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan memahami dan menerapkan berbagai metode atau model mengajar semisal CTL, Cooperative learning, Quantum learning, quantum teaching, accelerated learning dan sebagainya.
Dalam laporan ini kami akan membahas tentang pembelajaran inovatif berbasis pemecahan masalah.

2. Pembelajaran Inovatif Berbasis Reasoning and Problem Solving
Di abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah gencar didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy. Perubahan tersebut meliputi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik & Rudnick, 1996). Perubahan tersebut merekomendasikan model reasoning and problem solving sebagai alternatif pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya, bahwa kemampuan reasoning and problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki siswa ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan melakukan aktivitas di dunia nyata.
Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi), yang meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative thinking. Termasuk basic thinking adalah kemampuan memahami konsep. Kemampuan-kemapuan critical thinking adalah menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan analisis dan refleksi. Kemampuan-kemampuan creative thinking adalah menghasilkan produk orisinil, efektif, dan kompleks, inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap ide.
Problem adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996).
Jadi aktivitas dapat kami simpulkan problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan reasoning.
Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu:
(1) membaca dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting pemecahan,
(2) mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar),
(3) menseleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan),
(4) menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri),
(5) refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah. Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah non rutin yang menantang siswa untuk melakukan upaya reasoning dan problem solving.
Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.

3. Karakteristik dan Model Contoh Pembelajaran Berbasis Problem Solving
Model problem solving memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
(1) belajar dimulai dengan suatu permasalahan,
(2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata pembelajar,
(3) mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu,
(4) memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada pebelajar dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri,
(5) menggunakan kelompok kecil, dan
(6) menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
Masalah dalam model problem solving mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi ruang permasalahan. Masalah yang diberikan kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-defined.
Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objek-objek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan pebelajar dalam memecahkan masalah. Manipulasi ruang permasalahan memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna. Aktivitas menggambarkan interaksi antara pebelajar, objek yang dipakai, dan tanda-tanda serta alat-alat yang menjadi mediasi dalam interaksi.
Model problem solving dijalankan dengan 8 langkah, yaitu:
(1) menemukan masalah,
(2) mendefinisikan masalah,
(3) mengumpulkan fakta-fakta,
(4) menyusun dugaan sementara,
(5) menyelidiki,
(6) menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan,
(7) menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif,
(8) menguji solusi permasalahan.
Menemukan masalah. Pebelajar diberikan masalah berstruktur ill-defined yang diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada pebelajar untuk melakukan penyelidikan. Pebelajar menggunakan kecerdasan inter dan intra personal untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.
Mendefinisikan masalah. Pebelajar mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Pebelajar membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah ini, pebelajar melibatkan kecerdasan intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah.
Mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, pebelajar mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan “apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan.
Menyusun dugaan sementara. Pebelajar menyusun jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan. Dalam hal ini, pebelajar juga melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubunganhubungan, jawaban dugaannya, dan penalaran mereka dengan langkah-langkah yang logis.
Menyelidiki. Pebelajar melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan fakta-fakta yang ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan pebelajar dapat menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami dunia mereka.
Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. Pebelajar menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Pebelajar melibatkan kecerdasan verbal-linguistic memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat. Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data.
Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif. Pebelajar berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih baik ketimbang dilakukan secara individual.
Menguji solusi permasalahan. Pebelajar menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Pebelajar menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif pemecahan. Minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan merupakan ciri sistem sosial yang berkembang dalam pembelajaran ini. Suasana kelas cenderung demokratis. Guru dan siswa memiliki peranan yang sama yaitu memecahkan masalah, dan interaksi kelas dilandasi oleh kesepakatan kelas. Prinsip reaksi yang berkembang dalam pembelajaran ini adalah, bahwa guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah. Sarana pembelajaran dalam model problem solving adalah masalah-masalah aktual dan upayakan yang bersifat ill-defined yang mampu menciptakan suasana konfrontatif dan dapat membangkitkan proses metakognisi, berpikir tingkat tinggi, dan strategi pemecahan masalah yang bersifat divergen.
Dalam model problem solving ini, pemahaman, transfer pengetahuan, keterampilan berpikir tingkat tinggi, kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan komunikasi ilmiah merupakan dampak langsung pembelajaran. Sedangkan peluang siswa memperoleh hakikat tentatif keilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin merupakan dampak pengiring pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

 Surya, Mohammad. 2004. “Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran”. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
 Sutikno, Sobri M. 2008. “Belajar dan Pembelajaran”. Bandung: Prospect
 Uus Ruswandi, A. Heris Hermawan, Nurhamzah. 2008. ”Landasan Pendidikan”. Bandung: Insan Mandiri.
 http://blog.unila.ac.id/setiadi/2009/09/07/mewujudkan-meaningful-learning-pembelajaran-bermakna-melalui-pembelajaran-inovatif-pemanfaatan-lingkungan/
 http://pendidikansains.blogspot.com/2009/03/pembelajaran-inovatif-pemanfaatan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar